Melihat Media Dalam Pembangunan - Suatu telaah politik kebudayaan

PENGHANTAR
Media berada dalam suatu proses yang dinamis, pada saat Amerika mengalami perang melawan resesi, ketika komunisme mengkooptasi Uni Soviet, dan Eropa Timur bergerak mendekati kapitalisme. Kondisi ini berjalan beriring sesuai dengan transformasi teknologi, regulasi dan society (masyarakat), ini secara signifikan mempengaruhi perubahan dunia media massa. Media massa seperti radio, televisi, koran dan majalah, berperan fundamental dalam perkembangan pembangunan.

FUNGSI MEDIA DALAM RUANG PUBLIK
Salah satu fungsi dari Mass media adalah mendidik publik untuk belajar tentang isu-isu dan ketika masyarakat telah mendapat informasi dari media, massa akan mereproduksi kembali informasi tersebut lewat opini publik. Opini public sangat diperlukan oleh public itu sendiri dan diperlukan oleh media dalam suatu hubungan timbal balik (resiprokal), dalam arti, media mendidik massa dan massa pun bisa mendidik media. Jelas ada peran media massa dalam ruang publik dan hubungan keduanya sangat berpengaruh/ signifikan. Menurut Amir Pilliang, opini publik merupakan hal yang sangat sentral dalam prinsip hegemoni untuk membentuk masyarakat madani (civil society).
Media menjamin kebebasan berbicara publik dan dijamin kebebasannya dalam melakukan perannya pada publik, dengan dijamin oleh Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights).

ISSU MEDIA
Dalam media dikenal ada dua issu dominan yaitu Cultural Dominant dan Changing World Political Scene. Pada isu pertama yaitu, Dominasi Kultur mampu dilakukan oleh media massa. Proses dominasi kultur terjadi ketika proses kultur nasional tergesek oleh kultur yang muncul dari isi berita dan hiburan media yang diimpor dari negara lain, terutama Amerika atau negara industrialis yang lain. Tulisan Thomas Hanitzsch ketika menelaah tulisan R. Kristiawan dan Nuraini Juliastuti dalam Jurnal KUNCI sebagai berikut:
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Beberapa negara yang masih berpihak pada budaya nasional dan local heritage dengan sangat terpaksa mengalami juga dominasi budaya global dari nilai-nilai Amerika (Western Minded), contoh yang paling masuk akal adalah pengaruh telenovela, reality show, variety show dan sebagainya. Ada impilkasi yang harus diterima adalah dominasi kultur pada ekonomi. Hampir 48% show di televise berasal dari produk luar dan sisanya 52% adalah produksi nasional.
Pada isu kedua terlihat adanya perubahan skenario politik dunia yang diusung produk media. Negara- negara berkembang dari barat mendominasi dan mengontrol negara berkembang lainnya dalam sistem international. Dalam sistem international seringkali skenario Amerika berhasil diterapkan lewat produk media kepada negara-negara berkembang, ada kecenderungan nilai-nilai budaya barat (Western Cultural Values) yang membombardir negara berkembang, maka Media Barat telah melakukan bentuk kolonialisme media (media colonialism). Untuk itu UNESCO sangat perhatian membela kaum negara berkembang/ negara dunia ketiga dan resolusinya terhadap persoalan ini dengan memberikan hak kepada kekuasaan nasional untuk memonitor berita dan hiburan dari media yang lintas batas (cross border). Jurnalistik perlu secara sadar mampu memfilter pengaruh media barat terhadap negara ketiga. Tetapi diluar dugaan, riset yang disponsori oleh kaum media barat, menyatakan bahwa negara ketiga sangat menerima dengan fair produk media barat yang sarat dengan filosofis“ kebebasan(freedom)“. Maka „Barat“ memantapkan diri untuk terus mempertahankan negara ketiga sebagai pasar dari produk medianya. Persoalannya pers di Barat lebih bebas dari pada di negara ketiga, di negara ketiga media dikuasai oleh government dan mereka eksis untuk mengusung persoalan yang mendukung proses pembangunan dalam negara sedang berkembang (The Third World) . Media dipandang sebagai sangat vital untuk meningkatkan kemampuan publik untuk terlibat dalam strategi pembangunan.
Disisi lain Media dianjurkan menyatakan demokrasi pemerintah dalam produk-produk medianya, sehingga mereka mengangkat tema-tema demokrasi, pemerintah yang bersih (good governance), perdamaian dan hak asasi manusia, kemiskinan, kriminal, dan isu-isu yang sedang panas di diperdebatkan dalam negara berkembang. Pemerintah melakukan kontrol kepada media, terutama dalam mengusung berita tentang pembangunan. Eksistensi sistem media nasional juga sangat dipengaruhi oleh sistem politik negara yang berlaku. Di Indonesia pun terjadi demikian, pihak yang berkuasa (pemerintah) cenderung menguasai media.

TEORI- TEORI MEDIA
Penelitian sejak abad 16 menyatakan ada relasi antara media dan pemerintah dan implikasinya. Ada empat pokok filosofis pelaksanaan media dalam buku yang dipublikasi tahun 1956 dengan judul Four Theories of The Press, beracu pada kebebasan dan kontrol yaitu Authoritarian, Liberalitarian, Communist dan Social Responsibility. Beberapa trend media saat ini masih dibawah rejim otoriter (Authoritarian Regime) , demokratisasi media dikontrol penuh oleh pemerintah/ government. Media tidak mencerminkan penghargaan pada kaum intelektual, ada kebijakan beracu pada kuasa (Ruling Power) yaitu pada pemerintah, pemerintah berhak mengatur isi berita yang mendukung program pemerintah.
Dalam telaah ideologis komunist-marxist, media dimiliki oleh orang-orang yang merupakan representasi dari penguasa/ kaum elit . Kaum elit media, biasanya bekerjasama dengan penguasa. Sehingga isi media merepresentasikan power penguasa atau partai tertentu yang sedang berkuasa, dan media bukan lagi presentasi dari unitas negara, tetapi merepresentasikan kepentingan komunitas tertentu saja.
Teori liberalitarian merupakan refleksi polar dari otoritarian. Bagi liberalitarian kedua sisi pihak didengarkan yaitu rakyat dan pemerintah. Asumsi dari liberalitarian adalah setiap manusia mampu (capable) dan rasional dalam mengambil keputusan. Maka implikasinya, media bebas control. Media memiliki kemampuan memberi kritik pada pemerintah dan bertanggung jawab pada proses demokrasi. Media dan public/ massa sama-sama memiliki bargaining power terhadap penguasa. Peran positif Mass Media dalam mengembangkan Demokrasi yaitu,
The right to the freedom of speech/expression, as well as the freedom of the press, as a corollary of this right, represents fundamental values of the modern pluralist democracy. Without them, many of the progresses achieved in the contemporary world couldn’t be imagined. That is why all these rights must be defended.
Social Responsibility Theory, merupakan modifikasi filosofis dari liberalitarian, bedanya hanya pada absolutisme kebebasan, dalam tanggung jawab social, kebebasannya terbatas dan disesuaikan untuk menyalurkan demokrasi pada publik sesuai dengan kebutuhan dan minat publik. Pemerintah yang berkuasa ikut andil dalam menentukan regulasi media.

MEDIA DAN PEMBANGUNAN
Dalam pembangunan dikenal ada Developmental Concept oleh Hacten yang mengindikasikan pada spectrum otoritarian. Dalam ideologinya pemerintah memobilisasi dan mengarahkan media pada tujuan-tujuan ekonomi dan pembangunan social (Social Development). Beberapa tujuannya adalah membentuk tercapainya integrasi politik, literacy, pemberdayaan ekonomi (economic self-sufficiency) dan eradication of disease. Perspektif seperti ini juga tampak bila kita mengamati kondisi Indonesia kita. Trend di Indonesia Kontrol dan kebebasan media mengikuti tren pluralisme yang diarahkan pada keutuhan politik, ekonomi dan pembangunan sosial bangsa sesuai tujuan nasional dan bergerak kearah modernisasi. Coba kita lihat program media televisi AFI, ada usaha rasionalitas ekonomi yang menggeser spirit pluralisme di Indonesia pada pemilihan akademia kota per kota atau daerah asal.
Bentuk produk media seperti ini masih harus dikritisi pada masa pembangunan sosial Indonesia, dimana melalui AFI, anak-anak muda mengenal gaya hidup bak selebritis, bahwa satu-satunya kekuatan ekonomi dan kepopuleran seolah-olah diusung dari AFI yang notabene adalah beranjak dari ideologi kapitalis. Konsep isi media yang tidak seimbang dalam kualitas dan responsibilitas terhadap pendidikan publik Indonesia, perlu ditelaah lebih lanjut.

BUDAYA:(MEDIA, PENDIDIKAN) menggeser TATANAN SOSIAL dalam frame PEMBANGUNAN
Beberapa impact media kita sadari mampu menggeser tatanan social dan masyarakat. Peran media yang lain sebagai pengusung jurnalisme damai (‘peace journalism’), namun sering kali justru media berperan dalam menyebarkan “kekerasan” (violance) terutama kekerasan kognisi. Coba telaah, ketika muncul persaingan privatisasi Media--dalam arti luas perusahaan/ pemilik media, perlu memperhatikan evaluasi diri dari misi dan visi media, jadi ada sensor pada diri sendiri (Self-Censorship). Bila peran media damai tidak berfungsi, maka kebebasan damai pada publik di wilayah publik semakin kecil. Walaupun media berkembang terus dalam kualitas teknik dan teknologi, tetap masih akan ada ancaman terhadap publik. Media ternyata sangat mampu menggeser budaya dan tatanan sosial. Ketika budaya media bisa dan mampu melakukan perubahan tatanan publik secara membabi buta maka masyarakat dan media, bisa jadi kehilangan budaya pendidikan dalam frame pembangunan.
Sesungguhnya Pembangunan masyarakat terbaca dalam isi media, yang di dalamnya memuat orientasi nilai-nilai lokal, nasional atau international. Dalam isi media dimuat juga agenda-agenda sosial, yang terbaca melalui dialog komunitas pada proses pembangunan ekonomi dan sosial. Yang patut jadi pertimbangan dalam media, kita perlu peka menyongsong adanya indikasi trend global village/ globalisasi pasar, disaat dominasi pemain yang mendominasi (baca: kapitalis) memainkan perkembangan dunia tanpa memperhitungkan relevansi budaya dan kondisi lokal/ tradisional, karena budaya lokal dan nasional dianggap tidak mampu bersaing di pasar. Sesungguhnya kesaktian nilai-nilai jenius lokal dan budaya nasional semakin menjadi variabel kekuatan dalam pembangunan Indonesia. Mengukur aspek kebudayaan sebagai bagian dari pembangunan nasional, maka pengakuan bukan saja dinilai dari unsur kebudayaan, melainkan juga harus ada pengakuan eksistensi serta mampu mengakomodir kepentingan setiap komunitas adat dan budaya lokal dalam kancah kehidupan bangsa.
Walaupun persaingan media tidak mampu dilepaskan dari rasionalitas ekonomi kapitalis, yaitu media sebagai perusahaan harus membuat profit, media akan bisa tetap eksis bila visi dan misi pada spirit pembelajaran public dalam frame pembangunan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia masih membutuhkan media sebagai agen promosi pendidikan dan pembangunan dan mampu berfungsi sebagai agen pemenuhan gairah pembangunan (Development Agencies Desire) dalam wilayah makro. Dalam wilayah mikro, melalui marketing sosial dan pembelajaran dalam hiburan (edutainment), media berusaha merubah perilaku public dalam area: rencana keluarga (family planning), AIDS, kesehatan masyarakat (public health) and sanitasi. Media kerap kali menggunakan metode- metode hiburan (entertainment methods) seperti menggunakan lagu populer dan opera sabun, walaupun beberapa pendangan menyatakan bahwa ini manipulatif.
Bagaimanapun juga media massa masih tetap belum sepenuhnya mampu menyentuh wilayah pedesaan, karena masih ada dibawah pengaruh kekuasaan negara dan seringkali mengalami diseminasi informasi dari atas ke bawah (top-down manner). Maka itu trend dari dialog komunitas dan partisipasi dari bawah ke atas harus terus dipropagandakan dalam debat public.
Mekanisme-mekanisme media yang ditempuh bisa melalui perbincangan interaktif dalam program- program radio dalam komunitas radio dan Koran-koran. Program media bisa mengembangkan kerjasama dengan media privat dalam program berkelanjutan (Sustainability) dan terukur (accessibility) yang mengembangkan basis berisi pendidikan. Media diharapkan mampu membuka kesempatan- kesempatan bagi kelompok marginal di pedesaan, memuat opini dan suara publik desa yang mampu memonitor, mengapresiasi dan mengevaluasi media. Media bisa memilih fungsinya dan membantu agen-agen perubahan sosial dengan memberi support pada pengembangan organisasi sosial. Dalam perkembangan social masyarakat, pemerintah diharapkan membantu mempromosikan nilai- nilai pembelaan terhadap keseimbangan jurnalisme (press advocacy) dan spirit pluralis, kebebasan media (media freedom) dan masyarakat dikembangkan dalam relasi yang mutualis, itu sebabnya media harus berperan serta memberi suport dana untuk pembelaan pada kebebasan media dan kebebasan opini atau berpendapat dari bangsa Indonesia terutama media diharapkan mampu membela hak- hak kaum yang dimarginalkan.

1 comments:

  1. zihan mengatakan...

    terimakasih info nya
    bermanfaat bgt

Posting Komentar