TELEVISION AND KIDS - For Life Style Magazine

Kak Nirlaksita, saya menemukan rubrik ini dari seorang teman. Nama saya Ibu Ketut Mandhia (35 tahun),yang akhir-akhir ini seringkali merasa kawatir dengan cerita-cerita televisi yang ditayangkan untuk anak-anak. Cerita anak penuh diwarnai kekerasan: peperangan, dendam, perlawanan, persaingan tidak sehat dan bahkan cerita yang tak masuk akal dalam dunia anak adalah cerita percintaan. Sedangkan disisi lain telah banyak beredar buku-buku cerita anak yang bervariasi dengan isi cerita juga beragam, sesuai dengan nilai yang ingin kami ajarkan untuk Mitha (3th), anak kami. Walau kami menyadari pentingnya bercerita, dan bahkan sudah banyak beredar buku cerita bagus, sayangnya, kami ini adalah orang sibuk. Kami berdua (saya dan suami) bekerja dan pulang kerja jam 18.00 bahkan sampai jam 19.00 WITA. Sehingga begitu pulang, yang ada hanya rasa lelah. Seakan “waktu” menelan keakraban kesempatan kami dengan anak. Kami sadar perlunya mendidik anak tetapi kami kebingungan bagaimana mengatasinya???

Baiklah Ibu Mandhia, kita akan bersama mulai menelaah persoalan keluarga ibu. Bila saya tidak salah, persoalan utama adalah adanya pengaruh buruk cerita yang ditayangkan oleh televisi terhadap perkembangan anak. Memang ketika televisi menyeruak dalam dunia kehidupan keluarga maka bisa dimungkinkan ada persaingan relasi anak dengan orangtua dan relasi anak dengan teknologi audio visual. Perkembangan teknologi di masa sekarang ini semakin ketat lebih menyita waktu anak untuk berelasi dengan televisi dan playstation (game-game) dibandingkan dengan relasi dengan orangtua dan bisa saja itu terjadi di antara Ibu dan Bapak sebagai orangtua Mitha. Mengapa televisi lebih piawai merayu anak dibanding orangtua mereka?
Jawabannya jelas, televisi lengkap menyiarkan cerita yang menarik dalam bentuk suara dan tontonan. Efek-efek teknologi kamera dan animasi memegang peranan penting dalam mendramatisasi cerita. Dramatisasi cerita sangat diperlukan oleh anak pada usia ini. Piaget seorang tokoh psikologi perkembangan menyatakan bahwa pada usia ini anak berusaha mengembangan awal konsep berpikirnya.

Perlu sangat disadari bagaimanapun juga, televisi sebagai produk budaya populer, sehebat apapun cerita yang mampu ditawarkan televisi, memang akan merangsang daya imajinasi anak, namun tidak akan mampu memberikan kualitas yang sama seperti relasi keterdekatan ( intimacy) yang didapatkan anak terhadap orangtuanya. Menurut Carl Rogers, daya imajinasi anak akan mengarahkan anak manjadi lebih kreatif. Relasi anak dengan orangtua akan menumbuhkan perasaan anak merasa dekat, merasa tenang dan merasa ada yang mencintai, dan ini tak mungkin diberikan oleh tokoh-tokoh dalam cerita televisi. Perasaan dicintai hanya mampu diberikan orangtua pada anak dan bukan peran-peran imajiner dalam cerita televisi. Perasaan dicintai akan mampu menstimulasi ide imajiner anak tetap realistis sekaligus fantastis dan tetap terjaga jalinan anak dengan lingkungan sosialnya, artinya perasaan anak tidak tercerabut dari wilayah tersebut.

Maka sudah selayaknya para orangtua mulai menentukan pilihannya. Orangtua adalah pribadi dewasa yang mampu membangun dan menyediakan lingkungan yang layak bagi anak untuk tumbuh berkembang terutama secara mental. Dukungan orangtua penting untuk perkembangan anak. Salah satunya adalah mengembangkan kebiasaan mendongeng, bisa dilakukan sebelum berangkat kantor atau menjelang saat tidur anak. Kebiasaan mendongeng sebagai bentuk keperdulian orangtua justru bisa membentuk suatu hubungan komunikasi dua arah antar anak orangtua. Di dalam mendongeng sesungguhnya lebih mudah bagi orangtua untuk memasukkan nilai yang ingin ditanamkan (internalisasi). Anak bisa diajak bersama bereksperimen untuk mengeksplorasi ide cerita, sehingga ide cerita, mampu lebih dikembangkan.

Tujuan untuk fokus pada perkembangan anak merupakan pilihan orangtua. Banyak keuntungan yang didapatkan dari hubungan antara anak dan orangtua melalui dongeng diantarannya sebagai berikut: pengembangan ide anak, pengembangan emosi anak (dari lontaran-lontaran tanggapan emosi terhadap isi cerita orang tua). Pendapat ini dikemukakan oleh Irwanto sebagai Ketua I Kajian dan Advokasi pada Komnas Perlindungan Anak, beliau menyarankan agar perlunya anak diajak bicara sejak kecil. Dongeng menstimulasi (mendorong) anak menyatakan pendapatnya. Tentu saja, kemudian apapun pendapat anak hendaknya dihargai. Pendapat anak tampak dalam cara penolakan atau penerimaan anak terhadap sesuatu, suka atau tidak suka anak pada sesuatu.
Penerimaan pendapat anak akan mensupport anak untuk membiasakan dari kecil memasuki situasi yang dialogis (komunikasi timbal balik). Suatu situasi yang dialogis tidak hanya muncul begitu saja tanpa kesengajaan untuk menatanya. Situasi dialogis muncul bila ada keterbukaan antar anak dan orangtua dan sebaliknya. Tukar pendapat bisa terjadi baik bila orangtua menyediakan diri untuk terbuka dan menerima segala pendapat anak. Setiap pendapat anak dan orangtua dibiasakan ada konsekwensi dan alasan yang tepat untuk menjelaskannya (otomatis dengan bahasa yang bisa dimengerti anak).

Kembali pada persoalan awal, pengaruh televisi pada anak dapat diatasi dengan dongeng pada anak (buku kan sudah banyak). Tradisi dongeng kembali dihidupkan sebagai bentuk perlawanan (counter wacana) Christopher Gleeson menyatakan bahwa orangtua harus menjadi pendogeng ulung dari ujung rambut sampai ke darah daging. Dunia anak adalah dunia imajinasi, itu sebab sebenarnya anak lebih tertarik pada cerita yang dramatisasinya terlihat jelas. Anak mulai belajar nilai-nilai kemanusiaan dari tokoh-tokoh cerita anak yang mampu didramatisasi dengan menarik. Ketertarikan anak mengaktifkan ekspresi menyatakan pendapat dan akan mengarahkan anak menjadi pribadi yang penuh keyakinan dan optimis, bahkan yang paling mengharukan, anak lebih cepat siap dan mampu menyesuaikan diri dalam perkembangan lingkungan sosialnya. Melalui dramatisasi cerita lisan (dongeng) maka orangtua mampu mengenal siapa anak mereka dari ide-ide anak dari tanggapanya terhadap cerita lisan. Di dalam proses dongeng, anak maupun orangtua bisa saling belajar untuk mengerti perasaan masing-masing, Ketajaman intuisi anak dan orangtua bisa muncul dari keterlibatan bersama.
Pilihan orangtua dari awal dengan melibatkan anak adalah pilihan yang tepat. Maka sebaiknya waktu bukan lagi menjadi salah satu sebab kesalahan atau kambing hitam setelah pengaruh tayangan televisi. Meluangkan sedikit waktu (30 menit) dan melakukan pilihan kegiatan yang berkualitas justru akan membangun kesempatan kehangatan untuk saling bertukar ide dalam relasi anak-orangtua.

0 comments:

Posting Komentar