Tenageer in Television - Sebuah Studi Kasus AFI dalam Perpektif Kajian Budaya

“Jer run-tumurining tumus,winetu hing praja,
nalar wikan reh kasudarman, hayu rumiyeng badra,
nukti-nuting lagon, wirama natyeng kewuh, sangka-sangganing-rat.” (Prosa Samin)

Trend international pada tahun 1980an adalah runtuhnya monopoli televisi oleh pemerintah, ini terjadi juga di Indonesia (Sen & Hill,2000:129 dalam Mufid,2005:52). Dengan demikian siaran televisi swasta semakin mendapat peluang bisnis. Mulailah muncul televisi swasta pertama di Indonesia: RCTI. Tak lama kemudian RCTI disusul dengan TPI, SCTV, Indosiar, dan Anteve(Juliastuti,2002). Kemudian muncul generasi kedua yaitu Metro TV, TV 7,Trans TV, Lativi serta Global TV (Windriani,2005:1). Semakin banyak stasiun televisi, berarti semakin meningkatkan produksi acara-acara televisi. Siaran program televisi swasta pada awalnya merupakan persaingan bisnis informasi seperti berita. Perkembangan dalam siaran televisi memacu para programer televisi yang cerdik untuk mengalihkan acara berita sebagai cerita drama seperti feature di koran (Nugroho, 2005:113). Televisi swasta mulai menayangkan aktivitas publik seperti pertandingan, konser, diskusi, debat, demostrasi dimunculkan oleh media dalam bentuk virtualnya. Habermas, pakar komunikasi dalam relasinya dengan peran televisi publik menyebutkan, penyiaran publik berperan melakukan upaya pencerahan suatu bangsa. Diharapkan program televisi publik diukur dan diharapkan mampu menumbuhkan masyarakat sipil (civil society) yang sehat dari program informasi maupun hiburannya. Sementara program televisi sering menayangkan acara hiburan berupa sinetron yang mengumbar unsur kekerasan atau cara berpikir instan yang konsumtif (Nugroho,2005:123). Disisi lain televisi juga melahirkan siaran-siaran infotainment yang berisi berita-berita dari para artis dan selebritis Indonesia. Bagi Ashadi Siregar, media publik seharusnya mampu menjalankan fungsi kultural yang tidak lepas dari ruang publik yang ada.

Korporasi media publik diharapkan peranannya menjaga agar hak dan kepentingan warga terpenuhi (Kompas, 21 Desember 2006). Realitanya 5 tahun terakhir, stasiun televisi menunjukkan memiliki citra seragam dalam program tayangan, terutama sinetron. Bintang sinetron yang sama bisa bermain sinetron di berbagai judul di beberapa televisi swasta. Pertumbuhan manajemen produksi berkembang lebih cepat dari pada ide orisinal sumber daya kreatif, maka pembelian hak paten dari program luar mulai marak. Pembelian hak paten dari naskah dan pola manajemen mendukung peningkatan jumlah dan kualitas program untuk bertumbuh pesat. Seringkali program– program tersebut bercirikan: sensual, kekerasan, humor, mengaduk emosi dan isu, serta gaya hidup.

Gaya hidup terlihat sebagai konsekuensi dari semakin pesatnya industri hiburan dalam produk acara-acara infotainment. Semakin banyak berita hiburan tentang artis atau selebritis, semakin banyak anak-anak muda yang tertarik untuk bekerja dan memasuki wilayah-wilayah entertaintment sebagai artis atau selebritis. Bersama televisi swasta masyarakat diperkenalkan dengan berbagai jenis program baru berbentuk kuis, talk show, opera sabun (soap opera) hingga reality show.

Trend kini, muncul kontes bakat yang dirancang dalam Program reality show. Tayangan kontes kompetisi bakat menyanyi sebenarnya telah lama dikenal, contohnya acara ‘Bintang Radio dan Televisi’ (BRTV). Acara ini menjadi acara yang sangat populer untuk menghasilkan penyanyi berbakat. Program semacam reality show diawali oleh Amerika, Eropa, dan negara lainnya, kemudian merambah hingga ke Indonesia. Muncul acara Indonesian Idol (tayangan dari RCTI) yang diadaptasi dari Pop Idol dengan hak cipta milik Inggris. Kecenderungan ini diikuti munculnya program Dream Band (tayangan dari TV7), Kontes Dangdut Indonesia (tayangan dari TPI). Akademi Fantasi Indosiar adalah salah satu jenis acara yang cukup diperhitungkan. Acara juga berpola ajang adu bakat. Akademi Fantasi Indosiar adalah “talent search” yang diproduksi oleh televisi swasta Indosiar, berkembang sejak tahun 2003. Pihak media atau televisi swasta menganggap acara AFI sebagai ajang ”bergengsi”, bertujuan untuk mencari penyanyi berbakat yaitu anak muda. Nantinya akan banyak menghasilkan artis-artis baru yang bukan saja berbakat, namun juga memiliki ribuan bahkan jutaan penggemar di seantero Indonesia (Putrawan,2005:18).

Semakin banyak peluang yang disediakan televisi bagi anak muda untuk menjadi artis terkenal. Kecepatan citra, komunikasi dan informasi menggiring ke arah kehidupan yang serba segera , instan dan cepat. Anak muda dengan mudah dan secara cepat (instant) akan menjadi selebriti-selebriti atau bintang-bintang baru di ajang tarik suara, periklanan, dan sinetron. Popularitas dari identitas anak muda adalah komoditas bisnis bagi industri pertunjukan, utamanya televisi. Bagi televisi, penonton berarti pasar dan bagi media (televisi), pasar harus dimenangkan. Menurut Garin Nugroho, sudah saatnya media merayu massa. Akademi Fantasi Indosiar sebagai program reality show digunakan oleh media televisi untuk merayu publik.

Televisi sebagai media virtual melalui tayangan program mampu membentuk fantasi-fantasi baru tentang dunia kehidupan. Fantasi profesi selebritis mulai menjadi pilihan cita-cita hidup kaum muda. Kaum muda tertarik menjadi artis atau selebritis sebagai jalan menuju sukses, bahkan para orangtua secara sadar mendukung usaha ke arah tersebut. Ada perilaku pencapaian popularitas yang dikejar kalangan kaum muda. Popularitas sebagai suatu image mempengaruhi bintang atau selebriti (penyanyi) agar bisa diterima oleh pasar. Bila tidak populer, tidak bisa diterima pasar dan cenderung akan tersingkir. Pasar atau publik berubah menjadi dewan juri utama dalam industri hiburan, terutama industri rekaman. Jadi hanya yang ‘laku’ yang akan bertahan (survival of the sold-out).

Bantuan teknologi pada proses penciptaan, membuat citra yang dianggap nyata. Citra yang direpresentasikan pada publik oleh media membentuk suatu masyarakat imajiner (Benedict Anderson). Di sisi lain Piliang menyatakan:”pasar publik Indonesia yang sekarang sedang dalam kondisi ‘chaos’, artinya kebutuhan pasar tidak bisa diprediksi, karena pasar mengalami kesimpang-siuran kebutuhan. Menurut Pilliang, level kebutuhan bukan hanya berbicara persoalan needs, tetapi sudah bicara pada tahapan ‘hasrat’ (desire). Pasarlah sebagai alasan media untuk melakukan pertimbangan pendekatan dalam menentukan acara televisi. AFI adalah salah satu acara sebagai produk televisi yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar. AFI dikomoditaskan oleh televisi Indosiar, dan untuk diperlakukan pada pasar publik inilah yang diteliti oleh penulis sebagai suatu bentuk komodifikasi oleh televisi.

Sebagai program televisi, pemenang AFI bukan lagi ditentukan dewan juri tetapi lebih ditentukan oleh pasar. Kebiasaan standar, pemenang dipilih atau ditentukan berdasar kualitas kemampuan yang diperlombakan. Keunggulan peserta dimanifestasikan dengan nilai yang paling tinggi dari dewan juri. Namun realitas yang teramati dalam program AFI, fungsi dewan juri telah digantikan oleh penonton televisi. Penonton menilai dengan mengirimkan sms yang dikirim untuk akademia AFI yang difavoritkannya. Penonton memiliki hak bisa mengirimkan sms atau premium call sebanyak-banyaknya untuk mendukung akademia favoritnya. Sms (short messaging system) adalah bentuk percepatan teknologi digital. Ketika AFI memilih untuk menggunakan sms, artinya Indosiar telah melakukan kerjasama dengan produsen atau provider telekomunikasi. Ada bentuk korporasi media dalam AFI. Konsumsi pulsa menjadi kebutuhan baru penonton untuk dapat mengirimkan sms dan menelpon melalui premium call. Keputusan final terbesar untuk memilih pemenang jelas berada ditangan para penonton televisi. Dalam proses pemilihan AFI, diasumsikan ada komodifikasi sms dan premium call terhadap penonton yang dapat teramati.

Tayangan AFI menceritakan juga saat akademia mempromosikan dirinya untuk mendapat sms sebanyak-banyaknya dari daerah asalnya. Bahkan teramati adanya kecenderungan pada para akademia untuk menggunakan bahasa daerah ketika mempromosikan diri. AFI menayangkan secara jelas asal dari akademia. Diasumsikan daerah asal dikomodifikasi dalam AFI oleh Indosiar sebagai salah satu daya tarik pada publik untuk mendukung penyanyi dari daerah asalnya. Pernyataan dari Direktur Operasional Indosiar, Triandy Suryatman membawa pesan tentang problem kedaerahan yang sangat tinggi, karena AFI 2005 bermuatan sebelas wilayah kota (Sinar Harapan, 4 Juni 2005). Berita dari media cetak lain mengungkap tentang Bupati yang sampai rela memberi dukungan dana dan masyarakatnya untuk berlomba-lomba mendukung akademia asal daerah tersebut dalam pemilihan. Pemilihan melalui sms ini berfungsi untuk menyingkirkan para akademia yang bukan berasal dari daerah pemilih atau penonton. Realitas penyingkiran ini memunculkan asumsi kekawatiran tentang fanatisme kedaerahan. Darma Putra menyatakan dalam makalahnya, bahwa fanatisme sempit kedaerahan telah melebar ke dunia budaya pop (pop culture). Kemenangan bisa saja menimbulkan antipati dari daerah lain yang calonnya kalah (Putra,2006:4). Fanatisme kedaerahan bisa menjadi salah satu pertimbangan penonton ketika memberi sms. Model penyingkiran inilah yang dipilih dalam AFI sebagai bentukan atau produksi dari industri televisi.

Berbagai festival televisi dalam bentuk ajang pencarian bakat menghasilkan pemenang. Penyanyi yang menang dalam festival belum tentu sukses dalam industri rekaman. Industri televisi melalui AFI memilih pemenang yang sudah secara jelas dapat diterima oleh pasar. Pertimbangan agar calon bintang bisa diterima pasar nantinya, televisi secara aktif melibatkan penonton dalam konsep acaranya, yaitu kaum muda. Indosiar menetapkan syarat baru untuk calon akademia melalui pernyataan Produser Eksekutif AFI 2005, Siti Rozika:” karena mereka bukan sekedar jadi penyanyi tetapi harus menguasai akting sekaligus (Sinar Harapan,2003). Penjelasan ini sama dengan opini Didi Petet yang menjelaskan bahwa calon bintang tidak hanya disiapkan sebagai penyanyi, karenanya dimasukkan edukasi akting, dialog dan penguasaan peran (Sinar Harapan,2003). Kemampuan akademia AFI selain menyanyi turut menjadi pertimbangan komersial bagi Indosiar untuk memproduksi rekaman album nyayian sampai film. Film yang berupa drama musical bertajuk “Fantasi” dibintangi oleh 23 bintang AFI bersama artis senior dan 500 figuran yang diantaranya adalah finalis Indonesian Model (Astaga!com, 2006). Produk ini dijual pada pasar penonton penggemar AFI. Indosiar sebagai salah satu televisi swasta paling sukses meraih pasar peserta dan penonton di kalangan kaum muda melalui AFI .

AFI ditayangkan dari awal yaitu proses seleksi antar kota dengan acara “audisi”, dari kota-kota seluruh Indonesia. Semua kaum muda memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi peserta. Peminat dan penggemar AFI bukan hanya kaum muda tetapi ibu-ibu pun rela menghabiskan waktu dalam aktifitas kesehariannya untuk menonton acara audisi dan pemilihan bintang AFI. Indosiar menayangkan berita tentang acara Audisi AFI, digambarkan bagaimana peserta rela menunggu antrian selama berpuluh jam untuk mengikuti dan memenangkan babak pemilihan kota-kota. Dari pengamatan peneliti, para orangtua aktif menghantarkan anak-anak remajanya mengikuti audisi. Harapan para orangtua seolah benar-benar menjadi sejalan dengan harapan remajanya untuk bisa menjadi bintang atau selebritis baru secara instan. Kecepatan media menggiring pada ekstasi media, yaitu hanyutnya manusia dalam percepatan perubahan. Baudillard menyebutnya ekstasi komunikasi (ecstacy of communication). Setelah lulus audisi tiap kota, peserta yang dinyatakan terpilih akan dikarantina. Dalam karantina diberikan pendidikan olah vokal, ilmu musik, olah gerak (koreografi tari), olah watak (latihan teater atau acting), pendidikan kepribadian (latihan psikologis). Hari-hari dalam karantina juga dikemas dalam tayangan program AFI dalam acara yang disebut ‘Diary AFI’.

Acara ‘Diary AFI’ banyak mendapat dukungan iklan dari perusahaan pemasang iklan, dilihat dari seringnya iklan-iklan yang muncul, artinya spot iklan Indosiar laku. Tahun 2004 sampai bulan Mei, Majalah Trust mencatat bahwa urutan peraih iklan televisi masih dikuasai Indosiar, SCTV, dan RCTI yang masing-masing mengantongi kisaran Rp 721 miliar. (Mufid, 2005:57). Popularitas program ini memperoleh hasil komersial, dengan bukti tayangan banyaknya iklan-iklan yang dibintangi calon bintang. Cepat dan padatnya iklan-iklan yang secara terus-menerus menyerbu publik, memperlihatkan program ini cukup diminati oleh pelaku bisnis. Kebudayaan kapitalistik dicirikan oleh logika keharusan untuk bergerak, berproduksi, mengkonsumsi yang tanpa henti. Ada iklan permen coklat, mie instan, kopi instant, iklan kaset lagu-lagu AFI dan secara implisit ada promosi baju-baju dari perancang terkenal (yang digunakan oleh para akademia dalam keseharian dan pada acara show) dalam tontonan AFI.
Kebudayaan dikonstruksi sebagai suatu keharusan untuk berubah dari segi gaya, tontonan dan penampilan. Budaya dengan tempo yang dibuat semakin cepat disebut oleh Paul Virilio sebagai budaya dromologi. Realitas ini menggugah penulis sebagai peneliti untuk mengungkap persoalan ideologis di dalam AFI, dari awal audisi, babak penyisihan, sampai penentuan pemenang. Acara penentuan pemenang disebut minggu eliminasi. Calon bintang yang tereliminasi harus pulang. Saat kepulangan menorehkan kesedihan karena “disingkirkan” (dipilih) oleh pasar atau publik. Televisi Indosiar memfokuskan penayangan pada proses psikologis yang menyertai eliminasi. Tampak pada tayangan, akademia (calon bintang) AFI yang tidak dapat meneruskan pendidikan (tereliminasi) menjadi menangis, histeris (tayangan “close up”). Layar televisi berhasil menampilkan wajah-wajah penonton yang meneteskan air mata, bahkan tersedu-sedu melihat akademia favoritnya harus pulang. Respon malam eliminasi menampilkan ikatan emosional yang dalam dari penonton terhadap para akademia. Penulis berasumsi bahwa ada komodifikasi respon emosi pada calon bintang dan penonton oleh Indosiar lewat AFI..

Bahkan lewat AFI, presiden SBY dan Wiranto turut menyanyi dan dikomentari oleh dewan juri (Aryanugraha, 2005:10) di malam konser Grand Final AFI. Televisi digunakan sebagai ajang komunikasi artifisial dalam komunikasi politik. Muncul persoalan etika politik dalam komunikasi. Figur SBY sebagai citra politis bisa menyampaikan pesan-pesan politis yang menjadi chaos, simpang siur dan menimbulkan makna yang tidak jelas ketika seorang politikus seperti SBY menyanyi di malam eliminasi AFI, di malam emosi penonton dikomodifikasi.
Emosi penonton sangat mempengaruhi dirinya untuk mengganti pilihan chanel atau saluran televisi. Tidak memungkiri, dalam dunia persaingan acara dan saluran televisi, kontes bakat menghasilkan pasar yang menaikkan rating stasiun televisi. Apalagi Indosiar dikenal sebagai trend setter tayangan kontes bakat (Aryanugraha, 2005:10). Rating ditentukan oleh keterlibatan penonton. Pendekatan televisi dengan keterlibatan penonton tentunya akan menaikkan rating acara televisi. Rating AFI terus bertahan pada posisi yang tinggi. Status rating digunakan sebagai alasan tepat para pengiklan untuk menayangkan iklan produk. Program AFI padat dengan iklan, dimana iklan akan mampu meningkatkan penghasilan televisi. Sejak dahulu alasan ekonomi dan juga budaya menjadi bobot penting dalam mengkaji televisi dilihat dari produk program-programnya. Tayangan televisi merepresentasikan persoalan-persoalan penting secara ideologis tentang budaya dan identitas kultural. Pertimbangan ini menegaskan perlunya penulis untuk meneliti media yaitu televisi, baik dari model produksi, simbol-simbol yang dominan dan praktik ideologis dari respon publik dalam program AFI. Objek penelitian AFI diamati secara detail dari perilaku kaum muda, sms, rating, iklan, emosi penonton, perilaku politikus, daerah asal akademia.

Ketika membaca kaum muda dalam layar kaca, Akademi Fantasi Indosiar adalah salah sebuah studi kasus asyik akan kita bicarakan bersama. Remaja ‘ber’ dan ‘di’ fantasikan dalam layar kaca dalam suatu Akademi Fantasi.

0 comments:

Posting Komentar