Pedofil Jangan Pernah Asyik Masyuk Dengan Anakku

Kasus pedofil akhir-akhir ini mengingatkan ketika 3 tahun yang lalu penulis tiba-tiba dikontak seorang perempuan yang mendapat tugas dari Kedutaan Belanda. Dia mengungkapkan pertanyaan mengejutkan tentang keberadaan seorang laki-laki Belanda yang tinggal di Bali dan gemar melakukan perilaku seksual dengan anak -anak laki-laki dibawah umur 13 tahun. Dengan bantuan rekan-rekan journalis dan LSM diketemukan berita terakhir saat itu, laki-laki Belanda gaek (tua) itu sudah hengkang meluaskan wilayah korban-korbannya sampai ke Lombok, lebih tepatnya wilayah edarnya di seputaran Sengigi. Bahkan di Lombok pelaku pedofil itu sedang hidup dengan dua anak laki-laki yang bersaudara dan berumur dibawah 13 tahun.
Tidak ada berita lebih lanjut tentang pecabul gaek itu. Rupanya pemerintah Belanda kalah licin dengannya. Pedofil tampaknya memang sudah menjalin jaringan rapi di beberapa wilayah Indonesia, tak terkecuali Bali.

Ada kenangan lain, ketika salah satu klien penulis dari Flores meminta untuk melakukan analisis tentang kasus pedofil yang juga terjadi di sebuah kota di pulau itu.
Kali ini beberapa anak-anak laki-laki di sebuah panti asuhan dicabuli oleh ayah asuh mereka.Masih terbayang hingga kini wajah-wajah anak-anak tersebut yang pucat, tegang, selalu menunduk (tak memandang yang mengajak berbicara) dan ketakutan saat konseling. Mereka sulit diajak bicara, walaupun akhirnya mereka mau juga berbicara. Perilaku tutup mulut memang biasa ditemui di kalangan korban. Apalagi bila pelaku adalah tokoh yang memiliki otoritas seperti ayah asuh. Mereka kuatir tidak memiliki ayah lagi, takut kehilangan “sandaran”, apalagi karena ayah kandung mereka sendiri entah dimana rimbanya atau bahkan tertelan rimba imigran gelap ke negara-negara tetangga.

Orang yang dikenal dekat, guru, orangtua asuh, tetangga yang baik hati, keluarga bahkan orangtua kandung, tiba-tiba ditemukan terlibat dalam kejahatan seksual pedofilia. Sungguh mengejutkan dan hampir tak bisa dipercaya, tapi itulah yang kita saksikan dalam berbagai berita di media massa. Mereka menggunakan kekuasaan psikologis dan atau hubungan darah sebagai jalan menuju pencabulan anak-anak, dan itulah power game kejam para pedofil.

Inilah realitas mengenaskan kehidupan kita, ketika anak- anak dibawah umur dicabuli oleh orang yang telah dewasa. Pedophilia atau pædophilia, asal katanya dari Yunani Paidophilia; pais artinya anak-anak; philia artinya cinta, pertemanan adalah ketertarikan seksual terutama pada anak dibawah usia puber. Dalam istilah medis, pedofil biasa digunakan secara signifikan untuk menandai orang dewasa yang memiliki ketertarikan seksual pada remaja dibawah umur, istilah ini bisa dipersamakan dengan pencabulan seksual terhadap anak-anak. Pertamakali, istilah Erotica Pedofilia diperkenalkan oleh psikiater Richard von Kraft- Ebing dalam bukunya Psychopathi Sexualis, dinyatakannya perilaku pedofil cenderung”menetap” (tidak bisa diubah dan terus menerus).

Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita sebagai kekuatan dasar masyarakat menengarai persoalan ini. Bila perilaku pedofil itu menetap, satu-satunya usaha adalah melindungi anak-anak kita.Sementara siapakah yang disebut anak-anak, remaja dan dewasa? Dengan perkembangan fisik akibat rekayasa sosial, maka batasan usia ,sering tidak ada kesepakatan standar. Mengapa ini penting? terutama bagi psikiater, psikolog dan terutama ahli hukum? Kriteria penting untuk membuat produk hukum yang jelas, seperti dicontohkan oleh Departemen Kepolisian di Seattle US, mereka mengeluarkan informasi tentang karakteristik dan indikasi perilaku seorang pedofil dan disebar pada masyarakat luas bahkan melalui internet. Sadar dengan kasus di Indonesia dan pada upaya hukum perlindungan hak-hak anak, serta sesuai konvensi internasional, maka kita sebagai kekuatan masyarakat harus segera lakukan upaya yang telah dicontohkan salah satunya oleh Kepolisian Seattle. Produk sebagai upaya perlindungan anak ini dikumpulkan juga dari Training Manual “ Child Abuse and Exploitation” (penyabulan dan eksploitasi anak) , jelas melalui upaya kerjasama antar para profesional yang didorong akan “cinta” dan “masa depan perkembangan kejiwaan anak-anak kita”.

Diketemukan, pencabulan orang dewasa akibat tertarik secara seksual pada anak dikategorikan para ahli menjadi tiga jenis. Pertama adalah prefensial/terstruktur, yang memang cenderung menyukai anak-anak secara seksual. Pedofil jenis kedua adalah pedofil situasional yaitu menjadi pedofil karena partner/obyek dewasa tidak tersedia -jenis pecabul ini dijumpai melakukan inses (hubungan dengan anggota keluarga primer). Ketiga, adalah tipe sadistis, yang juga melalukan kekejian fisik pada anak.

Apapun jenis pedofil, intinya berkaitan dengan tindakan yang mengarah pada pencabulan anak oleh orang dewasa, dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan pada anak-anak (child abuse/ sex crime against children).

Lalu apakah para pedofil ini psikopat? Cukup mencengangkan, ternyata hasil penelitian beberapa peneliti, menyatakan dari hasil pengukuran, bahwa pelaku pedofil tidak menunjukkan adanya perilaku menyimpang/ tidak menampakkan gejala psikopat dalam penampakan sehari-hari. Bukan hanya itu, bahkan dari hasil diagnosis dan interogasi, kecenderungan psikopat dari para pedofil tidak terdeteksi . Inilah salah satu poin penting yang dengan cermat harus diwaspadai, karena bisa saja para pecabul benar-benar tampak seperti “orang baik-baik”.

Bayangkan saja. Dalam penelitian oleh Kinsey, yang dilakukan untuk mengukur orientasi seksual, ditemukan bahwa dari 30% penyabul anak ternyata hanya 2% sampai 10 % yang menunjukkan nilai terangsang pada anak-anak dan ingin bertindak cabul pada anak-anak. Dari pengamatan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli diasumsikan bahwa ternyata pelaku penyabulan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (perguruan tinggi) dan diketemukan bahwa 5% penyabul yang dipakai sebagai sample penelitian ternyata pedofil menetap yang aktif.

Data-data semacam ini yang perlu dibaca dengan lebih peka, betapa pentingnya informasi tentang pedofil akan mampu mengarahkan kesadaran kita sebagai anggota masyarakat untuk mendorong para praktisi hukum mengolah lahirnya Undang-Undang melawan para Pedofil. Selain itu penting adanya advokasi bagi para korban pedofil yang bisa kita lakukan baik dari para profesional dan masyarakat awam.

Mengapa pemahaman informasi detail tentang pedofil perlu? Lihatlah sisi Hukum, realitas hukuman bagi para pedofil masih menguntungkan penyabul. Hukuman hanya 5 tahun divoniskan pada Peter W Smith oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, padahal bukan hanya satu korban yang dicabuli, sejak tahun 2000 saja, sayangnya yang sempat terdeteksi ada 50 anak Indonesia dan beberapa bocah Vietnam dan India.

Sedemikian banyak anak-anak kita menjadi korban penyabulan oleh para pedofil. Data kasus penyabulan di Bali, Lombok, Flores dan Jakarta, diketemukan bahwa data korban yaitu anak-anak, berasal dari keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, artinya para korban biasanya berasal dari keluarga yang tergolong mengalami kemiskinan struktural yang tanpa disadari berakar pada hasil pembangunan yang semata-mata diarahkan pada politik pembangunan ekonomi. Politik pembangunan ekonomi Indonesia cukup gencar memicu kemiskinan di seluruh pelosok Indonesia.

Nah, kemiskinan inilah yang diminati para pedofil sebagai celah-celah yang dapat menyuport kegilaan penyimpangan orientasi seksual mereka, karena seperti telah disebutkan pada data penelitian, para pedofil memiliki pendidikan tinggi, artinya mereka tergolong cerdas. analisis relasi pemikiran ini, celah kemiskinan sesungguhnya sebagai kata kunci 'kewaspadaan' bagi masyarakat untuk lebih bersatu dalam bentuk keperdulian terhadap kaum miskin. Kebutuhan yang mendesak kaum miskin adalah bagaimana bisa hidup keesokan harinya, maka jelas bagi kita, bahwa kemiskinanlah yang sangat sensitif menjadi jalan masuk pedofil, termasuk kemiskinan data dan informasi. Pedofil dengan celah kemiskinan asyik masyuk,mengaktualisasi hasrat seksualnya, entah dengan barter “uang” atau “kesempatan”. Maka titik ini memohon lemparan buah pikir masyarakat, terutama pada media dalam upaya kampanye bersama para aktifis yang konsentrasinya pada anak-anak, dan terutama pada anak-anak kaum miskin, terlantar tanpa orangtua dan anak-anak jalanan.

Cuplikan goresan pena Agnes Aristiarini dan Maria Hartiningsih”Seandainya Aku Bukan Anakmu...” penulis pilih untuk menutup tulisan ini lewat pena Rabindranath Tagore dalam Gitanyali:

....dan hanya seekor anak anjing, akankah kau ijinkan aku makan dari pingganmu, Bunda tercinta?
Seandainya aku hanya seekor burung, akankah engkau terus merantaiku agar aku tak bisa terbang?
Kalau begitu halnya, aku akan pergi dan tak akan mau lagi aku menyentuh makanan yang kauberikan padaku....
aku tak akan membiarkan engkau menaruhku di dalam tanganmu lagi.
Aku akan terbang jauh ke dalam hutan
dan tak akan pernah kembali padamu lagi.

0 comments:

Posting Komentar